Jumat, 15 Juli 2011

teori belajar Bernard Weiner


Teori Atribusi Bernard Wainer

Atribusi ialah usaha pokok mencari pemahaman itu merupakan suatu “penegas tindakan” yang pokok (Weiner,1979).
            Teori yang dikembangkan oleh Bernard Weiner (1979,1980) menghubungkan dua minat utama dalam teori psikologi: motivasi dan penelitian atribusi. Teori –teori yang mula – mula mengenai motivasi, seperti halnya teori belajar , dikembangkan terutama dari pandangan stimulus – respons yang berkuasa dari pertengahan dasa warsa 1930-an. Konstuk motivasi yang pokok selama itu adalah konsep dorongan (drive).
Tiga arah penelitian menurut Weiner  (1977) antara lain :
1.      Penggolongan penyebab tingkah – laku menurut presepsi
2.      Hukum umum yang membuahkan informasi anteseden dengan struktur kognitif seseorang
3.      Perkembangan persambungan antara inferensi penyebab dan tingkah-laku kasat mata yang muncul berikutnya
Teori yang kembangkan Bernard Wainer bermula dengan variable yang disebut dalam teori motivasi untuk berprestasi. Wainer berpendapat bahwa ada peristiwa internal yang bertindak sebagai perantara stimulus tugas dan tingkah-laku individu berikutnya. Orang-orang yang bermotivasi prestasinya tinggi,misalnya melihat dirinya lebih mampu dari pada mereka yang motivasi prestasinya rendah, dan lagi pula mereka berusaha lebih banyak melakukan tugas-tugas untuk prestsi itu, Wainer dan Kukla menemukan bahwa akibat atau pengaruh variabel tugas itu tidak seragam. Artinya, keberhasilan mengerjakan tuigas yang sulit membuahkan kebanggaan yang lebih besar dari pada keberhasilan pada tugas yang mudah.
Perkembangan awal teori atribusi Weiner bermula dengan pengenalan empat penyebab pokok yang khas dipilih individu-individu untuk menjelaskan dicapainya keberhasilan dan dialaminya kegagalan dan hubungan konseptual antara akibat –akibat, atau hasil-hasil kerja yang dimilikinya dan tingkah-laku yang terjadi berikutnya. Ada empat penyebab pokok itu adalah kemampuan, usaha, kesulitan tugas, dan kemujuran, yang menjadi inti dari teori Wainer. Yang dikenali kemudian   ialah sifat–sifat atau dimensi–dimensi penyebab pokok itu, demikian dikenali peran reaksi afektif sebagai motivator tingkah-laku.
Asumsi Dasar
            Asumsi dasar teori ini ada hubunganya dengan dua konsep umum. Konsep – konsep itu ialah hakikat interensi penyebab (atribusi) dan hubungan antara infrensi-infrensi itu dan tingkah-laku.
Ø  Hakikat infrensi Penyebab.
Suatu ciri yang penting dari infrensi penyebab ialah hal itu terjadi dalam suatu bentangan yang luas tentang kegiatan manusia. Atribusi dikembangkan dalam ranah afilatif dan ranah kekuasaan. Contohnya: “Mengapa ajakanku berkencan ditampik?” dan “Mengapa aku kalah dalam pemilihan?” (Weiner, 1982, hlm 186)
Ø  Pandangan Satu Dimensi.
 Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa penyebab tingkah-laku menurut presepsi individu berbeda. Kejadian itu disebabkan (diatribusikan) oleh atau pada individu (diri) atau  pada sifat lingkungan. Menurut pandanganya, presepsi tentang penyebab tingkah-laku itu terletak pada suatu kontinuum antara dua ujung, yaitu lokus kendali Internal dan lokus kendali eksternal. orang-orang percaya bahwa penguatan (kosekuensi positif) bergantung (kontingen) pada tingkah-lakunya sendiri juga percaya bahwa mereka mengendalikan jalan hidupnya sendiri.
Ø  Masalah Berkenaan dengan Analisa suatu Dimensi.
Artinya, dari atribusi yang terjadi dalam dimensi yang sama, internal ataukah eksternal, bisa timbul beberapa hasil atau akibat (Weiner,1972; Weiner, dkk., 1971). Contohnya, berbagai pengharapan untuk hasil tindakan di waktu yang akan datang terjadi setelah atribusi kurangnya keamampuan dan kurangnya usaha. Nilai rendah yang diharapkan terjadi kembali. Tetapi nilai rendah yang diatribusikan pada kurangnya usaha mungkin tidak diharapkan diwaktu yang akan datang mengingat banyaknya usaha siswa bisa berubah (Weiner,1976).
Adanya konsekunsi yang berbeda sebagai akibat dari artibusi dalam lokus penyebab yang sama (Artibusi internal) ini telah menyebabkan orang untuk melakukan analisa lebih lanjut. Khususnya, telah dilakukan usaha untuk mengenali berbagai dimensi kepercayaan mengenai faktor-faktor penyebab kejadian yang memprediksi akibat yang berlainan. Analisa ini menjadi landasan teori Weiner.
Ø  Hubungan Infrensi penyebab dengan Tingka-laku.
Berdasar teori atribusi ialah usaha mencari pemahaman itu sumber utama dari motivasi manusia (Weiner, 1979). Motivator tindakan, pemahaman sejajar dengan hedonisme sebagai faktor utama yang berpengaruh atas tingkah-laku (Weiner, 1979). Beberapa teori telah mengenali adanya disposisi yang relatif mantap pada orang untuk tingkan-laku dengan cara tertentu sebagai sumber dan motivasi. Teori kognitif “yang sebenarnya” harus mendiskripsikan kejadian-kejadian  internal yang ada di tengah-tengah antara stimulus dan tingkah-laku individu yang terjadi berikutnya. Model ini dinyatakan S-C-R, dimana C= Kejadian pengantara internal (Weiner, 1972).
Komponen proses atribusi
1.      Model atribusi.
Suatu kejadian dari perbuatan  atau tindakan yang membawa hasil baik, atau kegagalan, ke tingkah-laku berikutnya (Weiner, 1979).
2.      Reaksi emosi.
Akibat tindakan yaitu keberhasilan atau kegagalan, menimbulkan reaksi emosi yang tidak ada kaitannya dengan penyebab yang dipersepsi. Sebaliknya, kegagalan menghasilkan perasaan tidak senang, tidak bahagia, dan kadang kala kesedihan (Weiner, Rusell, & Lerman, 1978,1979).
3.      Atribusi yang tipikal.
Penyebab paling mungkin dipilih untuk hasil perbuatan ialah kemampuan, usaha, tugas, dan kemujuran. Usaha siswa untuk menjelaskan keberhasilan atau kegagalannya seringkali berasal dari perkiraan mengenai tingkat kemampuan, banyaknya usaha, bagaimana sulitnya tugas, dan derajat serta arah kemujuran yang ada dalam suatu situasi (Weiner, 1978).
4.      Soal penerapan model.
Model atribusi mengenali adanya hubungan antara hasil, atribusi, dan konsekunsi yang datang mengikutinya. Ada tiga komponen penting yang bisa membantu memahami  hubungan-hubungan itu yaitu (1) macam informasi antesenden yang digunakan individu dalam memilih atribusi penyebab, (2) sifat atribusi penyebab, dan (3) peran reaksi yang berkenaan dengan tingkah laku.
5.      Anteseden Inferensi Penyebab.
Sumber informasi yang didapat individu sebelum dilakukan atribusi untuk suatu hasil disebut anteseden. Ada tiga jenis anteseden, yaitu (1) pengisyarat penginformasi (seperti riwayat keberhasilan seseorang waktu lampau). (2) struktur kognitif internal individu, disebut  skema penyebab, dan (3) paradisposisi individu.
6.      Pengisyarat Penginformasian Khusus.
Riwayat keberhasilan individu di waktu-waktu yang lampau merupakan penentu utama bagi memilih apakan kemampuan  yang merupakan atribusi (Weiner, 1974). Norma sosial dan catatan unjuk perbuatan orang lain juga bisa memberikan informasi tentang kemampuan. Jika seseorang berhasil mengerjakan suatu tugas yang orang lain tidak bisa dilakukannya, maka orang itu kemungkinnya akan mengatakan dirinya mampu (Weiner, 1974). Makin besar presentase terjadinya kegagalan dalam menjalankan tugas. Makin besar kemungkinan terjadi inferensi atas kegagalan itu berdasarkan sulitnya tugas (Weiner, 1974).
7.      Skema Penyebab.
Skema penyebabab ialah struktur kognitif yang agak tetap sifatnya, dan menggambarkan kepercayan umum individu mengenai kejadian dan apa yang merupakan penyebab yang berkaitan denganya (Weiner,1977). Skema penyebab yang lain adalah bergantung pada kemampuan dan usaha.
8.      Pradisposisi Perseorangan.
Orang yang kebutuhan prestasinya tinggi cenderung mengatribusikan keberhasilan dan buah kerja pada dirinya sendiri, artinya, keterampilan dan usahanya. Orang yang kebutuha prestasinya rendah cenderung mencari faktor-faktor luar yang menjadi penyebab keberhasilan (Weiner & Kukla, 1970).
9.      Ciri Infrensi Penyebab.
Suatu sumbangan penting model ini bagi memahami motivasi adalah untuk mengetahui ciri-ciri atribusi yang menyebabkan reaksi yang tidak sama. Weiner (1979, 1982 telah mengenali tiga dimensi itu :1. lokus penyebab (ciri internal atau eksternal), 2. Kemantapan, 3. Hal dapat dikontrol.
10.  Fungsi Dimensi Penyebab.
Dimensi pempunyai dua fungsi penting. (1) dengan cara tertentu dimensi membantu individu dalam menetapkan tujuan dan pengharapan untuk masa depan. (2) bahwa reaksi emosi tertentu itu ditimbulkan oleh dimensi atribusi masing-masing.

11.  Lokus Penyebab.
Dimensi ini berkenaan dengan sifat internal atau eksternal dari atribusi. Kemampuanm, usaha, dan keindahan jasmani ialah atribusi-atribusi internal, sedangkan taraf kesulitan tugas dan bantuan (atau rintangan) dai orang lain merupakan atribusi-atribusi eksternal. Dimensi ini juga disebut pembedaan asal mula dan motivasi intrisik atau ekstrinsik (Weiner,1982).
12.  Kemantapan.
Pengaruh dimensi kemantapan akan hasil di waktu yang akan datang. Jika suatu hasil tertentu dipercayai sebagai hasil yang mantap., maka hasil sebelumnya akan dapat diramalkan . namun, atribusi pada penyebab yantg tidak stabil (seperti kemujuran atau usaha) menimbulkan keraguan apakah hasil itu akan terulang kembali (Weiner,1979).
13.  Hal Pengendalian.
Suasana hati dikatakan tidak intersional (disengaja). Dan usaha dikatakan itersonal. Namun, Weiner (1979) memberikan batasan kembali mengenai adanya perbedaan yang bersifat pokok seperti yang dilakukan berkenaan dengan soal pengontrolan.
14.  Ikhtisiar tentang Infrensi Penyebab.
Lokus penyebab terutama berkaitan dengan rasa harga diri individu. Penyebab yang diatribusikan pada diri pribadi bisa meningkatkan perasaan diri pribadi bisa meninggikan perasaan diri berharga dan tidak menimbulkan cira diri yang negatif.
15.  Reaksi Orang lain.
Reaksi itu ada kaitanya dengan perilaku tertentu. Rasa belas kasihan dan tingkah-laku mengharapkan pertolongan orang bisanya terjadi karena kelemahan atau syarat-syarat keadaa yang diluar kendalui seseorang. Misalnya sakit keras dan kecelakaan (Weiner, 1979,1982).
16.  Peran Reaksi Afekti.
Atribusi dikendalikan dengan tiga sumber (Weiner,1979). Satu ialah akibat dari jenis hasil perbuatan sukses dan keberhasilan. Dua ialah emosi yang jelas yang ada kaitanya dengan atribusi tertentu, misanya rasa syukur, permusuhan, kujutan, dll. Tiga ialah ditimbulkan oleh ciri-ciri atribusi dan reaksi afektif ini ada kaitanya dengan rasa harga diri. Contohnya kebanggaan, kemahiran, dan malu.
17.  Pengisyaratan Emosi dari Orang lain.
Reaksi dari orang lain dapat bertindak selaku pengisyarat yang memberikan informasi atribusi mengikuti setelah unjuk kerja yang berprestasi  (Weiner, 1982). Secara khusus, rasa iba dan marah ialah dua reaksi afekstif yang muncul dalam diri pengamat unuk penyebab-penyebab prestasi yang tidak dapat dikendalikan
18.  Model Hubungan Afektif.
Reaksi afektif guru bisa mempengaruhi tindakan, yang didalamnya sendiri terkandung pesan tentang kemampuan.
Contoh penerapan di Kelas :
Ada siasat pembelajaran yaitu pengaturan belajar kelompok atau diskusi yang terdiri dari 3 atau 4 orang. Kegiatan ini dibenarkan karena siswa terhindar dari kejenuhan dan membantu belajar. Peran guru ialah berkeliling diantara permainan, menjelaskan pernyataan atau menjaga kelas tidak menghambat diskusi. Waktu yang palinga efektif adalah seninggu atau dua minggu sebelum ujian utama.
     Guru mengajar siswa mengenai gagasan pokok. Acara pembelajaran yang disajikan guru adalah :
1.      Membangkitkan perhatian.
2.      Memberitahu siswa tujuan belajar.
3.      Merangsang ingatan akan hal-hal yang sudah dipelajari.
4.      Menyajikan ciri-ciri stimulus yang jelas (topik atau pokok + sutu bayang penting tentang topik tersebut = gagasan pokok) ditambah dua atau tiga buah contoh.
Acara pembelajaran diselenggarakan dengan menggunakan kelompok kecil. Setiap kelompok mendapat tugas memilih empat film atau program televisi yang merupakan kegemaran, mengenali gagasan pokok masing-masing, dan memberikan penjelasan tentang film tersebut. Perbedaan antara rincian cerita, pernyataan garis beras, dan gagasan pokok jika perlu.
Pada akhir kegiatan, setiap kelompok menyajikan program yang dipilihnya dan gagasan pokok yang dikenalinya kepada kelas. Dijalankan dalam bentuk diagnostik secara tertulis. Anak-anak mencari gagasan pokok dengan ciri-ciri konsep. Beberapa hari kemudian anak diberi latihan tertulis.


Kekurangan teori atribusi Bernard Weiner :
Dilingkungan kelas, artribusi kurangnya kemampuan untuk kegagalan yang terjadi terus – menerus menimbulkan gejala yang disebut kepuasan yang dipelajari. Anak –anak dari golongan ini ciri khasnya ialah menempuh cara- cara yang asal-asalan saja untuk menghadapi tugas-tugas pelajaran sekolah dan mereka gampang skali menyerah. Teori atribusi menyarankan agar dijalankan perubahan program dengan tujuan mengubah kepercayaan mengenai kegagalan dari kurung kemampuan menjadi kurang usaha.
Untuk penerapan teori atribusi ini di kelas masih harus dikembangkan prosedur pembelajaran di kelas yang khusus. Meskipun telah dketahui oleh penelitian adanya arah yang memberikan harapan baik, namun masih diperlukan penjajagan lebih lanjut.